Cara Cerdas Menulis


SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)

Sudut pandang adalah cara yang dipakai pengarang untuk menceritakan kisah/ceritanya (cerpen, novel, novellete, dll) melalui tokoh pencerita.

Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.

1.    Pencerita orang pertama (akuan).

Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu

  1. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
  2. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.

2.    Pencerita orang ketiga (diaan).

Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu

  1. Pencerita diaan serba tahu/ maha Tahu (omniscient), yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Ia juga tahu apa saja yang menjadi pikiran atau perasaan para tokohnya.
  1. Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.

Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Jadi, Ia bukanlah pengarang itu sendiri.

Sebagai contoh simak cerita berikut :

Aku paling malas kalau tiap malam mesti terjaga. Sekedar mengendap-endap, untuk mengintai buah yang sudah masak. Aku harus berburu dengan waktu, karena terlambat sedikit saja, buah-buah itu sudah dipanen oleh empunya. Bila begitu, aku dan keluargaku akan kelaparan seminggu ke depan.

Manusia memang serakah. Tak menyisakan sedikit saja makanan untuk kami, bangsa kelelawar yang jumlahnya kian punah.

Dari cerita di atas, apakah ‘aku’ yang notabene kelelawar adalah sama dengan penulis?

Penulis pemula sangat disarankan untuk membuat cerita dengan POV orang pertama.

Berikut Contoh-contoh sudut pandang (POV) :

Pencerita akuan sertaan. (Secangkir Teh : harakiri ala Simamora)

Sekilas, berkenalan  dengan seorang Simamora tidaklah menimbulkan kesan apa-apa kecuali kenyataan bahwa ia berasal dari suku Batak yang terkenal kaku dan berwatak keras. Namun setelah saya sempatkan diri menemaninya bermain gitar atau nongkrong di warung kopi, beberapa lama saya tersadar bahwa banyak hal dari dirinya yang menarik dan  patut dijadikan teladan.

Ia adalah seorang yang berpendirian teguh dan tidak gampang digoyang siapapun bahkan orang tuanya sekalipun. Sewaktu mencari perguruan tinggi selepas SMA, ia sudah harus berjibaku argumen dengan orangtuanya yang ngotot agar ia kuliah di medan saja dan tidak perlu merantau jauh-jauh. Toh, akhirnya Simamora lebih memilih Tanah Jawa sebagai tempatnya berpetualang. Dua tahun mengikuti UMPTN di perguruan favoritnya berakhir kandas. Padahal ia sudah mengikuti bimbingan belajar yang menawarkan iming-iming ‘dijamin masuk PTN’. Namun kemauan keras Simamora tidak berhenti walau Bapaknya bersusah payah menjemput dan membujuknya agar bersedia kuliah di Medan. Tahun ketiga barulah kesabarannya berbuah. Ia diterima di fakultas favorit di perguruan tinggi favoritnya.

Sempat terseok-seok di tahun pertama, ia akhirnya lulus dengan predikat memuaskan dan bersiap mencari kerja. Beberapa lowongan dimasukinya tetapi belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Pernah suatu hari saya mengantarnya ke sebuah PT. yang membuka lowongan. Beberapa tes awal dilewatinya dengan mulus, tetapi dua tes akhir membuatnya harus pulang dengan tangan hampa. Saya jadi teringat akan lagu ‘sarjana muda’ milik Iwan Fals yang biasa kami nyanyikan bersama, tetapi tentu saja pada saat itu saya tidak berani mengumandangkannya. Setelah mengetahui anaknya belum juga dapat kerja, Bapaknya segera meminta Simamora untuk pulang ke medan dan mengikuti tes Calon Pegawai Negeri  Sipil (CPNS) saja. Namun lagi-lagi Simamora menampik kebaikan Bapaknya itu. Dalam satu kesempatan ia bahkan pernah mengungkapkan bahwa lebih baik ia terkatung-katung hidupnya  daripada jadi Pegawai Negeri!

Contoh Pencerita diaan serba tahu. (Secangkir Teh : harakiri ala Simamora)

Malam hampir sempurna menyulam angkasa menjadi Gulita. Jubah hitamnya kini rapat menutup setiap celah di segala penjuru cakrawala. Hingga tak terlihat sebuah sinar penerang. Pun bintang-bintang belum mulai berdatangan.

Samar-samar di sebuah tanah lapang, seseorang terlihat berjalan perlahan. Kakinya terasa berat dilangkahkan. Tak lama, iapun berhenti. Ditaruhnya sesuatu yang tadi bertengger di atas kepalanya. Beban itulah yang tadi membuatnya berat untuk melangkahkan kaki. Pun masih ada satu beban lagi, yang dijinjingnya dengan tangan kiri dan ditempelkan di pinggul kirinya.

Ia memang tak muda lagi. Tak seperti dulu. Ketika ia bisa mengelilingi 4 – 6 desa setiap hari, sebelum senja datang, sebelum adzan mengumandangkan pesan padanya bahwa ia mesti kembali pulang. Kini, dengan sisa-sisa tenaga yang ia punyai, hanya satu desa yang mampu ia kelilingi setiap hari, menjajakan barang dagangannya berupa kain dan pakaian anak-anak.

Sebenarnya bisa saja ia tak pulang, karena dimanapun tempatnya, ia bisa melepaskan penat yang mendera. Tapi itu dulu, bukan sekarang. Ia kini sudah mempunyai seorang cucu yang sangat ia sayangi. Cucu yang selalu setia menantinya di depan rumah setiap senja tiba.

Namun justru itulah yang terkadang membuatnya terbebani. Bila senja akan tiba dan ia belum mendapatkan penghasilan sepeserpun, rasa gundah menyelimutinya. Seperti kabut yang datang tiba-tiba  menghalang.

-=o0o=-

Belajar Menulis Cerita (BMC-05)

-=oOo=-

LATAR

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, acuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya (Wellek dan Waren, 1989).

Latar meliputi penggambaran letak geografis (topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang, dimensi), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

FUNGSI LATAR

Ada beberapa fungsi latar, antara lain :

1. Memberikan informasi situasi sebagaimana adanya

2. Memproyeksikan keadaan batin tokoh

3. Mencitrakan suasana tertentu

4. Memperkokoh alur

CONTOH-CONTOH LATAR :

Latar Emosional (Cerpen Titian Aksara)

Serasa sebuah anugerah terhidang, tatkala kulihat dalam keremangan ruang seorang gadis datang mendekati. Setiap dia berkata desah hembus napasnya terasa hangat di genderang telinga.

Dan getaran itu perlahan menjalar ke dada. Seolah sebuah wadah berisi cairan yang terhangatkan tungku perapian. Gemuruh cairannya mempermainkan tutup wadahnya selayak ombak yang menggoda laju perahu. Dan kumerasa berada dalam perahu itu. Bergoyang ke kiri kanan terhembus sapaan bayu yang membuat mata ini semakin redup terbuai.

Latar Tempat (Cerpen Taman 1000 janji)

Gelap perlahan merayap. Tangan-tangannya yang perkasa merengkuh seluruh isi pulau. Terkecuali satu tempat, yang berpagar mercuri di sekelilingnya. Gelap tak pernah  berhasil menjejakkan kaki di sana, bahkan ketika PLN padam!

Tempat itu adalah area industri yang dikenal dengan sebutan Batamindo Mukakuning. Sebuah tempat di luar kota yang memiliki sistem penerangan  dan  telpon sendiri. Lebih dari 100 perusahan mendirikan pabriknya, bersebelahan dengan dormitory (asrama) yang menjadi hunian pekerja. Di antara pabrik dan Dormitory, terhampar taman yang cukup luas.

Latar Sosial ( Secangkir Teh : Secarik yang tercabik)

Kehidupan di kampus mengajarkan saya banyak hal. Hal terbesar yang terpatri begitu tinggi adalah nilai-nilai idealisme. Pada masa orientasi, nilai tersebut telah ditanamkan dan makin menebal seiring pengalaman saya sebagai salah satu aktivis kampus. Berbagai benturan dan tarik-ulur kepentingan semakin meyakinkan saya bahwa idealisme sampai kapanpun tak akan bisa dibeli oleh apapun. Masih terngiang kata-kata seorang senior  pada masa orientasi dulu bahwa jika idealisme kami sudah terbeli, itu sama halnya dengan melacurkan diri.

Latar Agama/Spiritual (Secangkir Teh : Antara Rasa Sayang dan Kehilangan)

Sesungguhnya segala sesuatu di dunia ini hanyalah titipan yang Maha Kuasa. Namun demikian seringkali manusia tidak sadar akan hal itu. Ketika barang yang dimiliki manusia diambil kembali oleh Pemilik Aslinya, barulah mereka tersentak.

Latar Waktu (Hujan Bulan Nopember)

Hari ini, setahun sudah berlalu. Ribuan menit telah mengorbit hari. Setiap detiknya, memercik rindu tak terkira.  Kurindu usapanmu, yang membelai wajahku penuh kehangatan. Kurindu aroma mawar, melati bercampur kenanga atau sedap malam yang melekat bersama hadirmu.

(Bersambung)

Belajar Menulis Cerita (BMC-04)

ALUR

Alur merupakan urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun atas dasar tiga hal, yakni :

1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya.

Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur   linear. Disebut alur maju, bila rangkaian peristiwa yang membentuknya berurutan sesuai dengan urutan waktu kejadian. Disebut Alur mundur bila  rangkaian peristiwa yang disusun, tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.

2. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat.

Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal. E.M Foster dalam bukunya Aspect of the Novel, lebih sepakat bahwa alur merupakan hubungan kausalitas antar peristiwa. Sedangkan yang tidak berhubungan disebut sebagai jalan cerita.

Sebagai contoh :

1. “Raja wafat karena diracun permaisurinya.”

2. “Raja wafat ketika permaisurinya sedang berada di taman”

Contoh pertama disebut alur, karena ada kausalitas (sebab akibat), sedangkan contoh kedua adalah jalan cerita, karena hanya berupa rangkaian cerita, yang tidak didasari oleh kausalitas.

3. Berdasarkan tema cerita.

Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.

Struktur Alur

Setiap karya sastra  mempunyai rangkaian cerita yang khas. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita, yang terdiri dari :

Bagian awal

paparan (exposition)

rangsangan (inciting moment)

gawatan (rising action)

Bagian tengah

tikaian (conflict)

rumitan (complication)

klimaks

Bagian akhir

leraian (falling action)

selesaian (denouement)

Tidak semua cerita harus dimulai dari paparan (exposition).  Beberapa cerpen justru  memulai bagian awalnya  dari rangsangan. Ada juga cerita yang justru dimulai dari bagian tengahnya. Cerita semacam itu disebut dengan in media res. Beberapa karya yang lain, justru memulai cerita dari peristiwa akhir (Flash back). Adalah selera pengarang untuk memulai ceritanya dari bagian yang manapun.

Hampir semua novel terbitan balai Pustaka sebelum Indonesia merdeka, menggunakan struktur alur yang sama : bagian awal, tengah dan akhir. Di bagian awal, pengarang mendeskripsikan keadaan/gambaran fisik dan psikis tokoh-tokohnya, berikut latar tempatnya. Setelah peristiwa mencapai klimaks, dibagian akhir pengarang memanfaatkan peristiwa tersebut untuk menyampaikan nasehatnya. Tokoh utama berbahagia bila ia baik, dan meninggal atau sengsara bila ia jahat.

Novel Atheis (1949) adalah contoh novel yang menggunakan alur flashback. Peristiwa di bagian awal novel dimulai dari kematian tokoh utamanya, Hasan, yang sebenarnya merupakan akhir semua peristiwa yang dialami tokoh tersebut. Beberapa struktur novel yang mempunyai alur hampir sama dengan Novel Atheis diantaranya, Gairah untuk hidup dan untuk mati, Kubah dan Anak tanah Air.

Penulis novel Indonesia mutakhir sepertinya sengaja membuat struktur alur yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh novelis sebelumnya. Novel Priyayi, karya Umar Kayam, membuat tokoh-tokoh yang semuanya terkesan membentuk ceritanya sendiri. Antara tokoh satu dan lainnya seperti tidak saling berhubungan, kecuali satu tokoh : Sastrodarsono.  Karya-karya Iwan Simatupang,  Putu Wijaya, Kuntowijaya atau Budi Darma malah terkesan mengabaikan struktur alur dan hubungan kausalitas di dalamnya. Mereka bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang satu sama lain sepertinya tidak saling berhubungan. Dibutuhkan kejelian untuk membaca maksud penulisnya.

Titik Bidik :

Untuk tahapan awal, sangat disarankan membuat kerangka alur yang menunjukkan kausalitas antar peristiwa. Membuat karya dengan alur demikian lebih mudah daripada membuat karya dengan alur tematis/kronologis.

Cukup dengan bertanya ‘Apa’, ‘Mengapa’ dan ‘Bagaimana’ ala 5W1H (What, Where, When, Why, Who, dan How), kita dengan mudah  bisa membuat ceritanya.

Sebagai contoh, sebutlah dua tokoh sembarang sebagai lakon utama : Bintang dan Bulan misalnya.  Ada apa dengan Bintang? Ada apa dengan Bulan? Mengapa mereka bertemu? Bagaimana bisa begitu? Berpisahkah mereka pada akhirnya?

Contoh I

Bulan yang telah merindukan Bintang berbulan-bulan lamanya, mengajak bintang bertemu pada suatu senja. Mereka bercengkerama tentang kesendirian yang menyapa hari-hari mereka. Hari-hari lalu, yang tak ingin mereka jumpai kembali. Merekapun sepakat untuk selalu bersama, mengarungi gulita semesta…

Contoh II

Aku nggak tahu kenapa orang tuanya memberi nama bulan. Apakah karena sinarnya yang menghangatkan dan menentramkan? Enggak juga. Malah sebaliknya. Bertemu dengannya saja aku sudah muak. Ingin sesekali menonjok mukanya yang jerawatan itu…!

Nggak seperti aku, tentunya, yang diberi nama Bintang. Karena cemerlang sinarku. Secemerlang prestasiku, yang selalu rangking satu. Tapi itu dulu, sebelum Bulan pindah sekolah kemari…

(Bersambung ke bagian 5)

=o0o=

Sumber Tulisan :
9 Jawaban Sastra Indonesia, Maman S. Mahayana
Membaca Sastra, Melani Budianta, DKK
Bermain dengan Cerpen, Maman S. Mahayana

TEMA & AMANAT


Tema adalah gagasan sentral, makna cerita yang mendasari sebuah cerita.  Tema suatu cerita biasanya bersifat tersirat (tersembunyi) dan dapat dipahami setelah membaca keseluruhan isi cerita.

Kedudukan pembaca dan pengarang sama pentingnya bagi perkembangan sebuah karya. Tanpa pengarang, mustahil akan terlahir sebuah karya. Sebaliknya, betapapun hebatnya sebuah karya menurut pengarangnya, apabila karya itu tak jatuh ke tangan pembaca, maka karya tersebut tak berfungsi apa-apa. Peran pembaca menjadi penting, karena merekalah yang memberikan makna terhadap sebuah karya.

Saat menikmati sebuah karya, pembaca akan mendapatkan hal-hal yang bersifat hiburan  dan pelajaran. Hiburan akan didapatkan bila pembaca merasakan kenikmatan estetik. Sedangkan pelajaran akan didapatkan bila pembaca merasakan adanya ajaran moral, etika, dan berbagai hal yang menyangkut pergaulan antar makhluk di dunia. pelajaran inilah yang biasa disebut sebagai amanat dari sang pengarang.

Karya-karya yang baik biasanya memadukan kedua unsur tersebut secara sinkron. Oedipus Sang Raja atau Mahabarata misalnya, menampilkan kedua unsur tersebut secara berimbang. Unsur hiburan dan ajarannya disajikan secara kental dan menyatu dengan semua unsur intrinsik lain. Dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, banyak karya yang juga menampilkan hal demikian.. Sebagai misal, novel Atheis, jalan tak ada ujung, robohnya surau kami, puisi-puisi Chairil Anwar atau Amir Hamzah.

Walaupun begitu, tak sedikit pula karya sastra yang lebih menonjolkan salah satu unsur saja. Karya-karya yang mengeksploitasi seks/pornografi, karya yang memuat kisah percintaan remaja secara sederhana dan naif, tergolong dalam jenis karya sastra populer. Dalam karya jenis ini, pembaca hanya memperoleh hiburan tanpa mendapatkan nilai edukasi yang bisa meningkatkan kualitas pemikiran dan kemanusiannya. Apabila karya sastra lebih menonjolkan unsur ajarannya, maka karya-karya tersebut bisa digolongkan dalam karya sastra propaganda. Contohnya adalah karya-karya pada Zaman jepang atau karya seniman Lekra.

Dalam karya sastra yang baik, pengarang selalu berusaha untuk menampilkan unsur hiburan dan ajaran (amanat)nya secara tersembunyi. Ia seolah-olah hanya memotret dan merekam apa yang terjadi di kehidupan ini, tanpa terkesan ikut campur di dalam cerita dan menyampaikan nasehat/amanatnya. Pesan/amanat pengarang yang tersembunyi itu, memaksa pembaca untuk mencari sendiri di dalam teks sastranya.

MACAM RAGAM TEMA :

Tema Intrapersonal
Tema yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan alam sekitar, untuk memaknai kehadirannya di dunia. Tema-tema seputar kenangan, catatan perjalanan, keindahan alam dan kontemplasi bisa digolongkan dalam jenis Tema intrapersonal.

Tema Interpersonal
Tema yang mencakup hubungan seorang manusia dengan manusia lain sebagai individu. Yang bisa digolongkan dalam tema ini : kasih sayang, cinta, persaudaraan, pengorbanan, dll.

Tema Sosial-Politik
Tema yang menyangkut hubungan manusia dalam sebuah komunitas, atau hubungan sebuah komunitas dengan komunitas lain. Misalnya : Pengorbanan, kebersamaan, persatuan, kepahlawanan, pendidikan, sosial, propaganda politik, dll.

Tema Spiritual
Tema yang menyangkut kepercayaan dan keyakinan. Misalnya tema tentang reinkarnasi, keagungan Tuhan, datangnya Mu’jizat, dll.

Bahan-bahan diolah dari :

* 9 jawaban Sastra Indonesia, Maman S. Mahayana

* Membaca Sastra : Pengantar memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, Melani Budianta, dkk

* Bermain dengan cerpen, Maman S. Mahayana

(Bersambung ke bagian 4)

Belajar menulis Cerita (BMC-02)

Untuk lebih memahami tentang tokoh dan penokohan, ada baiknya kita baca sepintas, inti dari cerpen Dewi Ria Utari, ‘Kekasih’.


Kekasih, pernah kutandakan ribuan kecupan di tubuhmu, juga di tubuhnya…

Angin baru saja mengelus anak rambut yang berjatuhan di pelipisku, ketika ia tiba-tiba duduk di hadapanku. Saat itu, aku tengah menghirup kopi di sebuah kafe yang memasang beberapa meja dan kursi di trotoarnya. Aku satu-satunya yang duduk di luar ruangan kafe. Waktu terasa tanggung. Pagi sudah terlewati beberapa jam, sementara siang belum pantas dikenakan. Tepatnya pukul 10 pagi. Suasana lengang. Para pekerja sudah mendekam di kotak nafkah masing-masing. Yang tertinggal hanya para tetua, ibu rumah tangga, bocah-bocah kecil. Dan aku, seorang pelancong tak berumah.

Kekasih, dengan sabar ia melihatku mengoleskan bedak dan menyisir rambutku. Aku sebenarnya ingin berganti pakaian di depannya juga. Tapi menurutku itu terlalu cepat. Aku masih ingin terlihat sopan di kesan pertama. Karena itu  telah berhasil untukmu. Dan dengan senyuman semanis mungkin, aku memberi isyarat kepadanya bahwa aku siap untuk pergi.

Tiga tahun yang lalu, wajahku begitu berseri ketika engkau menyebut tentang rumah dan anak yang kau atasnamakan milik kita berdua. Ya…aku menyukai rencana itu. Mungkin. Karena sekarang aku merasakan bahwa kegembiraanku tak lebih dari sebuah keinginan untuk mengkategorikan diriku sebagai perempuan apa adanya. Sorry…bukan apa adanya, tapi sempurna. Cantik, pintar, dan menyukai sebuah keluarga. Aku menganggap tiga hal itu merupaan ukuran kesempurnaan. Setidaknya untuk Indonesia yang masih memerlukan konsep keibuan. Karena aku seorang chauvinis sejati yang haus akan pujian, yang dengan hati akan sumringah ketika setiap temanmu memuji kepintaranmu mencari calon istri.

Mungkin di situlah sebuah awal dimana aku lebih memperhatikan image ketimbang kengakui keegoisanku. Aku sibuk melahap citra tentang kesetiaan atas sebuah hubungan yang tak mungkin dari dua orang manusia beda agama—yang di Negara kita begitu muskil dipersatukan—berikut kerelaan seorang perempuan untuk sewaktu-waktu melepas kesuksesan kariernya demi sebuah konsep keluarga yang menurutku tidak jelas.

Kau ..dengan s egala keyakinan beningmu atas sebuah kekuasaan di luar kemampuan manusia yang menurutmu bisa menjadi jaminan atas semua persoalan duniawi, ternyata tak cukup kuat menyeretku keluar dari kotak hedonis dan sekularitasku.

Kekasih, seharusnya maaf kukirimkan ketika aku mengisyaratkan sebuah cinta yang tulus sejak awal hubungan kita. Tidak sekarang ini, setelah aku melewatkan malam bersamanya. Hidup adalah pilihan. Itu yang pernah kau ucapkan kepadaku. Aku menyetujuinya, untuk tidak menyiksamu lebih dalam lagi. Meski ia tidak mengharapkan aku untuk menghentikan hubungan denganmu, aku merasa ia lebih cocok untuk menemaniku—mungkin tiga bulan ke depan atau lebih.

TOKOH

Pada ‘Kekasih’, Dewi Ria Utari bercerita tentang perselingkuhan tokoh ‘Aku’ dengan ‘ia’. Padahal ‘Aku’ telah berhubungan sangat intens dengan ‘kekasih’ (kau). ‘Aku’ pada contoh di atas merupakan tokoh Protagonis, sedangkan ‘kekasih’ adalah tokoh antagonis. Tokoh ‘ia’ adalah tokoh bawahan.

Karena ‘keterbatasan lahan’, terkadang sebuah cerpen tidak mengungkapkan peran antagonis dari tokoh-tokohnya.

PENOKOHAN

a. Metode analitis/langsung/diskursif.

Penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.

pada cerita di atas, Metode diskursif beberapa kali digunakan oleh sang pengarang Seperti pada :

Karena aku seorang chauvinis sejati yang haus akan pujian, yang dengan hati akan sumringah ketika setiap temanmu memuji kepintaranmu mencari calon istri.

Sorry…bukan apa adanya, tapi sempurna. Cantik, pintar, dan menyukai sebuah keluarga. Aku menganggap tiga hal itu merupaan ukuran kesempurnaan.


b. Metode dramatik/tak langsung.

Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan tingkah-laku tokoh yang disajikan pengarang.

(Bersambung ke bagian 3)

Belajar Menulis Cerita (BMC-01)

Sebuah cerita–cerpen, cerber, novellet ataupun novel,–merupakan bagian dari karya sastra dalam bentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur pembentuk yang disebut sebagai :

1. Unsur Ekstrinsik

Adalah hal-hal  yang menginspirasi & mempengaruhi karya sastra secara keseluruhan, yang meliputi : latar belakang kehidupan penulis, keyakinan & pandangan hidup penulis, adat istiadat yang berlaku pada saat itu, situasi politik,  sejarah, ekonomi, dan lain-lain.

2. Unsur Intrinsik

Adalah unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri, terdiri dari :

a.       Tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh

b.      Tema dan amanat

c.       Latar (setting)

d.      Alur (plot)

e.       Sudut pandang & gaya penceritaaan

Pada bagian ini, kita hanya akan membahas Tokoh & Penokohan (untuk bagian2 lain, akan dibahas dalam tulisan terpisah)

A.1. TOKOH

Adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa/kejadian dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh bisa berwujud manusia, binatang, tumbuhan atau benda-benda yang diinsankan.

Berdasarkan fungsinya, tokoh dapat dibedakan menjadi :

1. Tokoh sentral

Tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita, yang  dibagi lagi menjadi :

a.  Tokoh sentral protagonis.

Tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.

b. Tokoh sentral antagonis.

Tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

2. Tokoh bawahan

Tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Tokoh andalan.

Tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).

b. Tokoh tambahan.

Tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.

c.Tokoh lataran.

Tokoh yang berfungsi sebagai latar cerita saja.


A.2. PENOKOHAN

Adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh.

Beberapa metode penyajian :

a. Metode analitis/langsung/diskursif.

Penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.

b. Metode dramatik/tak langsung.

Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan tingkah-laku tokoh yang disajikan pengarang.

bersambung

Proses Kreatif Dalam Puisi

Proses Kreatif terbentuknya sebuah karya (dalam hal ini puisi) tak bisa dilepaskan dari  proses belajar yang berasal dari dua hal, yakni : Inside Learning/ Learning by doing ( belajar dari pengalaman) dan outside learning/learning by experience (belajar dari sumber lain).

INSIDE LEARNING

Pengalaman memegang peran dominan dalam proses kreatif. Tiap apa yang dikecap atau dirasa, bisa menjadi sumber inspirasi. Lembar demi lembar peristiwa apabila mampu dituliskan akan menjelma menjadi ratusan  bahkan ribuan buku. Namun begitu, setiap orang memiliki ketertarikan yang beragam. Tidak semua peristiwa atau tempat mampu menggerakkan pena mereka untuk merangkai kata. Mereka hanya membidik apa yang menurut mereka berkesan dan memiliki arti.

Sebagai contoh, berada di tengah-tengah pasar mungkin sangat menarik bagi A, sehingga  ‘kekagumannya’ pada suasana pasar tersebut  mampu menginspirasinya dalam berkarya.

Sebelah penjual sayur tukang bubur,
bertabur lalat terbang dan hinggap
Lahap pembeli tak hirau kanan kiri


Bagi si B yang tidak menyukai keramaian dan lebih suka menyendiri, mungkin berada di tempat sunyi akan lebih membuatnya tenang dalam berkarya. Kalaupun ada ‘keramaian’ yang tercipta, alamlah penyebabnya.

Berdiri di tepian ombak
Beranjak dari ribuan jarak
Terpaku dalam kepungan pulau

Senja telah tenggelamkan wajah
Gelombang menggoyang bayang-bayang
Terbayang kenangan silih beralih
Sesaat berkilat di tempa cahaya
lalu gelap melelapkan cakrawala

Ada kalanya sebuah peristiwa mampu memicu ledakan emosi sang pengarang untuk berkarya. Agresi Militer Belanda I yang memakan korban ratusan penduduk Rawagede (daerah antara Karawang-Bekasi), menginspirasi Chairil Anwar dalam menulis puisi : Antara Karawang Bekasi.

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Taufik Ismail adalah salah satu penyair yang secara konsisten memotret peristiwa penting berkaitan dengan sejarah Indonesia, mulai peristiwa 1966, Reformasi 1998 hingga Bom Bali.
TAKUT 66, TAKUT 98

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut ‘66, takut ‘98

OUTSIDE LEARNING

Selain menggali inspirasi dari pengalaman diri, kita juga bisa memanfaatkan pengetahuan dari luar untuk memicu sel-sel otak agar berkarya.

a. Membaca karya puisi orang lain
Semakin banyak   membaca, akan semakin luas wawasan yang kita dapatkan. Dari karya orang lain, kita bisa belajar bagaimana mereka memilih dan memilah kata (diksi), struktur kata pada larik dan baitnya, ragam kosa kata yang dipakai, dll.

b. Membaca buku-buku sastra (sejarah dan perkembangannya)
Meluangkan waktu untuk belajar dari karya-karya para penyair terdahulu akan membuat kita semakin paham bagaimana sebuah proses kreatif itu dapat tercipta.
Konon saat melintasi suatu kuburan, Sitor Situmorang melihat ada bulan di malam takbiran. Maka lahirlah karyanya yang fenomenal (karna hanya sepenggal)

MALAM TAKBIRAN
Bulan di atas kuburan

c. Belajar langsung dari sang penulis puisi
Akan menjadi sebuah keuntungan yang besar apabila kita bisa berinteraksi dengan sang penulis puisi secara langsung. Kita bisa mencatat kiat-kiatnya dalam berkarya. Bila memungkinkan, kita bisa berkonsultasi dan meminta pertimbangan tentang puisi yang kita buat.

LANGKAH-LANGKAH PROSES KREATIF :


1. Akumulasikan Inside Learning & Outside learning

Sinergitas antara dua proses pembelajaran tersebut akan mampu memicu datangnya inspirasi. Keberanian berfungsi sebagai katalis yang akan membuat proses tersebut berjalan lebih cepat. Bidik titik yang menjadi daya tarik. Fokuskan perhatian di satu titik tersebut.

Misalkan saja suatu ketika, sepanjang siang hingga sore kita bepergian ke pantai. Banyak hal menarik yang berkesan sepanjang perjalanan. Anak-anak yang riang bermain di pasir putihnya, deru ombak yang meliuk-liuk, karang yang menjulang, ombak yang tenang, dan lain-lainnya. Jangan terpengaruh/ terpancing untuk membidik semua  titik. karena hal ini justru akan membuat   fokus kita menjadi kabur. Pusatkan perhatian pada satu hal : Ombaknya, anak-anaknya, karangnya, pasirnya,  pantainya, atau justru jembatannya?

2. Masa Inkubasi

Apa yang telah diserap oleh indera kita secara sadar, sesungguhnya juga telah dicitrakan di alam bawah sadar. Inside Learning & Outside learning  akan diaduk, lalu diendapkan. Hal-hal yang berkaitan dengan fokus kita tadi, akan dikembalikan ke alam sadar, sedangkan hal-hal yang di luar fokus akan dibenamkan ke bawah sadar.
Inilah saat yang disebut sebagai AHA..!

3. Saat Penulisan

Proses kreatif ‘AHA’ di atas harus  kita manfaatkan dengan segera mengambil catatan dan mulai menuliskan apa saja yang terbersit di benak. Catat saja semuanya dan biarkan kata-kata bergulir apa adanya. Biarkan saja segala rasa yang ada, tumpah menjadi kata-kata…

Misalkan tadi kita mengandaikan ‘Ombak’ yang menjadi titik fokus, mungkin barisan kata berikut akan muncul :

Berdiri di tepian ombak
pergi dari pulau seberang
terpaku di semenanjung ragu

4. Menyunting Kembali Naskah

Ambillah jeda beberapa saat, sebelum mengedit (menyunting) naskah yang telah kita buat. Mungkin ada beberapa kata yang perlu dihilangkan atau ditambahkan. Bacalah berulang-ulang dan rasakan sensasi ketika membacanya. Bila ragu terhadap kehadiran kata tertentu, kita bisa menggantinya dengan kata baru yang lebih mewakili isi hati.

Bila kita kurang berkenan dengan pergi dari pulau seberang, kita bisa mulai mengganti kata-katanya, dan mencari padanan katanya. kata pergi mungkin bisa diwakili dengan beranjak, sedangkan pulau seberang bisa diganti beribu kilo, ataupun selaksa jarak tergantung sreg mana kita memilihnya.

Sepertinya ada rima antara beranjak dan jarak, karenanya akan lebih mengasyikkan kalau kata-kata ini yang dipilih. Jadinya :

Berdiri di tepian ombak
Beranjak dari ribuan jarak
terpaku di semenanjung ragu

5. Menerbitkan Naskah

Segera terbitkan naskah setelah selesai menyuntingnya. Kita bisa mengupload di blog, mengirimkan ke redaksi majalah/ koran, atau tempat-tempat lain. Senantiasa terbuka terhadap kritik akan membuat kita maju dan semakin matang dalam berkarya.

Selamat berkarya…!!!

Baca Artikel terkait :

Fungsi dan Definisi Puisi

Ragam Jenis Puisi

Apresiasi Puisi

Belajar Mengapresiasi Karya Sastra

Perkembangan dunia Teknologi Informasi dewasa ini telah berhasil membuat jutaan Blogger tumbuh di Indonesia. Hampir tiap hari mereka menghasilkan karya dalam bentuk catatan pribadi, puisi, cerpen, cerbung, atau naskah yang akan menjadi drama/novel, dan lain-lainnya. Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan apabila kehadiran blogger-blogger di dunia maya tersebut diimbangi dengan kualitas tulisan yang memadai.

Sayangnya,  terlihat masih banyak  karya yang hanya seperti tumpukan sampah. Padahal bila mereka bisa mengemasnya dalam bingkai yang menarik, tentu akan sangat mengasyikkan untuk dibaca. Pertanyaannya adalah, siapa yang mengetahui kemasan itu menarik atau tidaknya?

Tentu saja jawabannya adalah pembaca. Bagaimanapun, pembaca adalah ‘pembeli’  yang akan menilai layak tidaknya suatu produk karya sastra ‘dibeli’ atau tidak. Mereka mungkin akan mencoba membaca satu-dua paragraf awal, sebelum memutuskan untuk meneruskan membaca paragraf selanjutnya atau tidak.

Pembaca memang memegang peranan yang mutlak dalam kemajuan kesusasteraan. Sebuah karya besar yang dibuat  pengarang hebat tak akan berarti apa-apa jika tak pernah jatuh ke tangan pembaca. Pembaca Blog sendiri memegang peran lebih dibanding pembaca buku biasa, yang hanya bisa menikmati sebuah karya tanpa terlibat dalam proses kreatif di dalamnya.

Di dalam blog, penulis bisa berinteraksi dengan pembaca, meminta masukan dan kritikannya. Dari pembaca, ia akan mendapatkan feedback yang berharga untuk perbaikan hasil karyanya. Proses ini jika dilakukan secara intensif, akan membuat karya penulis-penulis Blog menjadi makin berbobot dan layak baca. Pada gilirannya hal ini akan membuat khazanah sastra Indonesia menjadi semakin berkembang di masa mendatang.

Kritik Sastra

Menyadari peranannya yang begitu besar dalam perkembangan bidang kesusasteraan dan bahasa, sudah selayaknya setiap pembaca mengedepankan nilai obyektivitas, disamping nilai subyektivitas yang mungkin tak bisa dihindarkan ketika membaca sebuah karya sastra.

Setidaknya ada enam criteria yang bisa dijadikan acuan, agar sebuah kritik sastra (umum) tetap berada dalam rel obyektivitas :

  1. Inovasi (pembaruan ide, gaya bercerita)
  2. Koherensi (Keterpaduan)
  3. Kompleksitas (kerumitan alur/cerita)
  4. Orisinalitas (keaslian)
  5. Kematangan (wawasan/intelektualitas penulis)
  6. Eksplorasi

Nilai obyektivitas ini menyangkut apresiasi (penghargaan) yang memuat pujian terhadap keunggulan karya tersebut, terutama bila dibandingkan dengan karya lain (yang pernah dibaca oleh pembaca). Bila ada kritik, hendaknya disertakan dengan uraian yang evaluatif, dengan menyertakan kemungkinan alternatif  perbaikan ( bila ada). Kritik yang harus dihindari adalah kritik yang bersifat caci maki, mengulas sisi kejelekan karya tanpa mengimbangi dengan kelebihannya.

Titik Bidik :

Memuji sebuah karya, dalam batas-batas yang wajar akan mampu meningkatkan motivasi menulis sang penulis. Tetapi, jangan membunuh kreativitasnya dengan selalu mengatakan bahwa karya tersebut bagus, indah, menarik, dll…tanpa mengimbanginya dengan kritik yang membangun.

Kritik adalah feedback (umpan balik) yang berfungsi sebagai Quality Control (QC) agar sebuah karya menjadi semakin berkualitas.

Baca Artikel terkait :

Fungsi dan Definisi Puisi

Ragam Jenis Puisi

Apresiasi Puisi

Belajar Mengapresiasi Karya Sastra

Puisi dapat didefinisikan  sebagai :

“Hasil cipta manusia yang terdiri atas satu atau beberapa larik (baris) yang memperlihatkan pertalian makna dan membentuk bait. Keindahan puisi terletak pada persamaan bunyi (rima, sajak) dan iramanya” (Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Hoetomo M.A, 2005).

Definisi puisi yang lain, silakan dilihat  di sini.

Jenis puisi beraneka ragam, tergantung klasifikasinya.


Berdasarkan zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.

1. Puisi Lama

Puisi yang sifatnya masih asli, belum terpengaruh oleh Barat.

a.    Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.

b.    Disampaikan lewat mulut ke mulut, sehingga bisa juga disebut sastra lisan.

c.    Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.

2. Puisi baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.

Berdasarkan bentuk dan isinya, puisi lama dibedakan atas :

1. Mantra adalah ucapan-ucapan (kata-kata) yang mengandung hikmat, dan memiliki kekuatan gaib.

2. Bidal atau peribahasa, yang meliputi :

a. Pepatah : Kiasan yang dinyatakan dengan kalimat.

b. Ungkapan : kiasan yang dinyatakan dengan sepatah kata

c. Perumpamaan : mengungkapkan keadaan/kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan alam sekitarnya.

d. Tamsil/Ibarat : Perumpamaan yang diiringi dengan penjelasan

e. Pemeo : kata-kata/slogan yang menjadi popular karena sering diucapkan kembali, berisi dorongan semangat atau ejekan.

3. Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi.

Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/ nasihat, teka-teki dan jenaka.

Pembagian pantun menurut bentuknya :

a. Pantun biasa

b. Pantun berkait : Terdiri dari beberapa bait yang sambung-menyambung.

Disebut juga pantun berantai, atau seloka.

c.  Talibun : terdiri dari 6, 8 atau 10 baris.
d.  Pantun kilat (Karmina) : terdiri dari 2 baris (baris pertama sampiran, baris kedua isi). Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab (dari kata syu’ur=perasaan) yang berciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita. Menurut isinya, syair dibedakan menjadi : Syair dongeng, syair sindiran, syair hikayat, syair cerita kejadian, dan syair agama/budi pekerti.

4. Gurindam :  puisi yang berisi nasehat, yang tiap bait 2 baris, bersajak a-a. Baris pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat.

Berdasarkan isinya, puisi baru dibedakan menjadi:

1. Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.

Rendra banyak sekali menulis balada tentang orang-orang tersisih, yang oleh penyairnya disebut “Orang-orang Tercinta”. Kumpulan baladanya yaitu, Balada Orang-orang Tercinta dan Blues Untuk Bonnie.

2. Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau orang yang dimuliakan

3. Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa dalam masyarakat (pahlawan).

Contohnya : “Teratai” karya Sanusi Pane, “Diponegoro” karya Chairil Anwar, dan “Ode Buat Proklamator” karya Leon Agusta.

4. Epigram, slogan,s emboyan atau sajak cetusan adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.

5. Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.

Contohnya : “Empat Kumpulan Sajak” Karya WS Rendra.

6. Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.

Misalnya “Elegi Jakarta” karya Asrul Sani yang mengungkapkan perasaan duka penyair di kota Jakarta.

7. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik atau kecaman.

Berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi/gagasannya, puisi dibedakan menjadi:

1. Puisi Naratif

Puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada yang kompleks. Yang termasuk puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.

2. Puisi Lirik

Puisi yang mengungkapkan gagasan pribadi penyair (biasanya disebut juga aku lirik). Dalam puisi lirik, penyair  tidak bercerita. Jenis puisi lirik, misalnya: elegi, ode, dan serenade (sajak percintaan yang bisa dinyanyikan).

3. Puisi Deskriptif

Penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan / peristiwa, benda, atau suasana dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya puisi satire, kritik sosial (yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya), dan puisi-puisi impresionitik (yang mengungkapkan kesan penyair terhadap suatu hal).

Berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan (David Daiches), puisi dibedakan menjadi:

1. Puisi Fisikal

Puisi yang bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang didengar, dilihat, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, balada, impresionistis, juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal.

2. Puisi Platonik

Puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Puisi-puisi ide atau cita-cita, religius, ungkapan cinta pada seorang kekasih, anak pada orang tuanya dan sebaliknya, dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik.

3. Puisi Metafisikal

Puisi yang bersifat filosofis,  mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius dapat disebut sebagai puisi platonik (karena menggambarkan ide atau gagasan penyair), atau bisa juga digolongkan sebagai puisi metafisik (karena mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan Tuhan), Karya Jalaludin Rumi dapat diklasifikasikan sebagai puisi metafisikal.

Berdasarkan obyek yang menjadi sumber gagasan, puisi dibedakan menjadi:


1. Puisi Subyektif / Puisi Personal

Puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang ditulis kaum ekspresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subyektif, karena mengungkapkan keadaan jiwa penyair sendiri. Demikian pula puisi lirik dimana aku lirik berbicara kepada pembaca.

2. Puisi Obyektif/ Puisi Impersonal

Puisi yang mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair itu sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan adalah puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa puisi yang subyektif.

Berdasarkan kedalaman maknanya, puisi dibedakan menjadi:

1. Puisi Diafan/ Puisi polos

Puisi yang kurang memiliki pencitraan, terutama dalam hal diksi yang terlalu ‘biasa’, sehingga mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi diafan sangat mudah dihayati maknanya.

Biasanya, puisi anak-anak atau puisi yang ditulis oleh orang yang baru belajar menulis puisi dapat diklasifikasikan dalam puisi diafan. Kelemahan utama pada karya-karya tersebut adalah,  belum adanya harmonisasi bentuk fisik dalam mengungkapkan makna.

Takaran yang dibuat untuk kiasan (metafora), lambang, simbol masih kurang tepat, baik letak maupun komposisinya. Jika puisi dibuat terlalu banyak majas, maka puisi itu menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sebaliknya jika puisi itu kering akan majas dan versifikasi, maka itu akan menjadi puisi yang bersifat prosaik dan terlalu gamblang untuk diartikan sehingga diklasifikasikan sebagai puisi diafan.

2. Puisi Prismatis

Puisi yang mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma.

Bisa jadi akan ada bermacam-macam makna yang muncul, karena memang bahasa puisi bersifat multi interpretable. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak gelap. Makna yang aneka ragam itu dapat ditelusuri pembaca. Jika pembaca mempunyai latar belakang pengetahuan tentang penyair dan kenyataan sejarah, maka pembaca akan lebih cepat dan tepat menafsirkan makna puisi tersebut.
Penyair-penyair seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar dapat menciptakan puisi-puisi prismatis.

3. Puisi Gelap

Puisi yang sukar dimaknai. Terlampau banyak penggunaan majas, metafora, simbolisasi terkadang justru membenamkan arti/makna puisi itu sendiri. Mungkin hanya pengarangnya yang bisa membaca arti puisinya.

APRESIASI PUISI

Bentuk puisi umumnya padat dan eksplosif. Bentuk karya sastra ini paling sering digunakan untuk mewakili kegalauan perasaan, yang biasanya memotret sebuah emosi pada suatu ketika atau peristiwa.

Dalam pelajaran sastra dahulu, puisi didefinisikan sebagai karya yang terikat oleh :

  1. Banyaknya baris dalam tiap bait.
  2. Banyaknya kata dalam tiap baris
  3. Banyaknya suku kata dalam tiap baris
  4. Adanya rima, dan
  5. Irama

Definisi tersebut secara kontemporer telah berubah, seiring dengan perubahan manusia yang tak lagi ingin dikekang oleh bait/baris maupun rima yang membelenggu kebebasan mereka dalam merangkai kata tersebut.

Puisi Chairil Anwar : ‘Aku’, larik-lariknya tidak dibuat atas bait-bait.

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar, Maret 1943)

Begitu juga dengan puisi WS Rendra : Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api berikut :

Bagaimana mungkin kita bernegara

Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya

Bagaimana mungkin kita berbangsa

Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup

bersama ?

Itulah sebabnya

Kami tidak ikhlas

menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris

dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu

sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang

udara panas yang bergetar dan menggelombang,

bau asap, bau keringat

suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki

langit berwarna kesumba

Walau terkadang masih ada rima yang menyertai di akhir baris, namun Rendra tak memaksakannya bila memang tak memungkinkannya.

Beberapa penulis puisi, mempunyai deskripsi sendiri tentang arti puisi. Berikut petikan beberapa di antaranya :

“ Berbicara puisi, mungkin (atau pasti) takkan ada ujungnya. Aku sendiri menganggap puisi adalah sesosok makhluk yang merupakan sebuah entitas mutlak, artinya ia ada dan menuntut untuk ada dalam kehidupan sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Ia hadir dalam manusia, memilih manusia-manusia yang cocok untuk menuliskan dirinya.

Jalan kepenulisan itu memilih pelakunya sendiri.” (TS PINANG)


“Puisi adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban.”

(Hasan Aspahani)


Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang.” (Joko Pinurbo)


Apapun definisinya, puisi yang baik selayaknya menyajikan makna yang bisa dinikmati pembacanya. Agar rangkaian makna tersebut bisa diserap, pembaca harus masuk ke dalamnya dan mencoba memberikan penafsiran.

Berikut langkah-langkah yang dapat dijadikan acuan dalam memahami sebuah karya puisi

1. Pembacaan teks puisi secara eksplisit.

Makna secara eksplisit dapat kita cermati dengan melihat perwujudan teks itu sendiri, Diksi (pilihan kata), rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata menyodorkan kekayaan nuansa makna, yang pernik-perniknya akan membuat bahasa menjadi lebih indah dan dalam maknanya.

Rangkaian sintaksis berhubungan dengan maksud yang hendak disampaikan penulis, serta logika yang digunakan yang berkaitan dengan pemikiran/ekspresi yang disajikan.

Makna semantik berkenaan dengan kedalaman makna setiap kata.

2. Pembacaan teks puisi secara implisit.

Makna secara implisit berkaitan dengan intepretasi, latar belakang (yang mungkin ditemukan), simbol dan perlambang yang menyertai makna di belakang puisi tersebut. Assosiasi (pertautan) dan imajinasi terkadang berperan besar dalam mengungkap makna.

Di Meja Makan

Ruang diributi jerit dada

Sambal tomat pada mata

Meleleh air racun dosa

Baris pertama, memberi bayangan tentang kegelisahan yang tak terperikan. Mengungkapkan hati yang sedang diliputi ketakutan/penderitaan, atau kemelut yang tak terpecahkan. Baris berikutnya, lebih menegaskan lagi tentang derita yang sangat pedih dan perih itu. Baris tersebut mengasosiasikan kepedihan mata yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Baris berikutnya, seolah menyimpulkan dan memberi penegasan bahwa penderitaan dan kegelisahan itu disebabkan oleh perbuatan dosa. Meleleh air racun dosa, bisa diartikan sebagai ungkapan penyesalan yang mendalam.

3. Memperkaitkan makna eksplisit dan makna implisit untuk mendapatkan gambaran tentang amanat/ tema yang diusung puisi.

Berbobot tidaknya puisi dapat diamati dari pencitraan yang dilakukan penulis terhadap isi dan makna puisi mereka yang terkadang disamarkan untuk tujuan tertentu.

TITIK BIDIK :

  1. Puisi akan menjadi lebih bagus apabila memuat unsur-unsur berikut :
    1. Memiliki nilai estetika (keindahan)  pada kata/baitnya.
    2. Memberikan pencerahan pada pembaca
    3. Mampu memperkaya kosa kata, makna kata, ungkapan dan bahasa secara keseluruhan
  2. Tidak diperlukan penafsiran yang sama dalam mengapresiasi sebuah karya sastra, termasuk juga puisi. Asal masih dalam koridor yang logis, pemaknaan boleh saja berbeda, tergantung cara pandang masing-masing orang.

Mari Berkarya dan terus berkarya…!!!


Baca Artikel terkait :

Fungsi dan Definisi Puisi

Ragam Jenis Puisi

Apresiasi Puisi

Belajar Mengapresiasi Karya Sastra

Laman Berikutnya »