Spiritual Quotient (SQ)


Zaman dahulu tekanan/ masalah yang dialami umat manusia lebih didominasi oleh hal-hal yang bersifat eksternal, yang berasal dari luar manusia. Misalnya ancaman wabah penyakit, ancaman kelaparan, dan  perang berkepanjangan.

Di abad ke-21—dengan  adanya riset bidang kedokteran yang makin canggih, demokratisasi dan perdamaian yang semakin meluas, kesejahteraan yang semakin meningkat—ancaman terhadap masalah-masalah eksternal tersebut sudah bisa teratasi. Makin tumbuhnya kemerdekaan berpendapat, keleluasaan berpikir, ketercukupan materi, ditunjang kecanggihan teknologi, semestinya mampu membuat hidup manusia lebih tenang dan tenteram. Namun begitu, yang terjadi justru sebaliknya. Kegundahan, kegelisahan, kesedihan, rasa was-was dan cemas justru kerap bergejolak dalam diri manusia. Tekanan/masalah internal inilah yang memicu stress. Meningkatnya stress ternyata juga mendongkrak angka kematian akibat bunuh diri. Krisis ekonomi AS tahun 2007, secara signifikan memukul perekonomian Jepang yang sangat bergantung pada ekspor mobil, mesin, dan peralatan IT.  WHO melansir bahwa  tahun 2008 angka bunuh diri di Jepang  mencapai 30.000 jiwa, merupakan yang tertinggi di dunia. Sebagaimana diberitakan AFP  Sabtu (26/12/2009), berdasarkan data Kepolisian Nasional Jepang, antara bulan Januari hingga November 2009 total 30.181 jiwa melakukan tindak bunuh diri di negeri sakura itu.

GOLDEN GATES : Tempat Favorit untuk Bunuh Diri

Di amerika serikat, Golden Gates yang selesai dibangun 1937 merupakan tempat favorit untuk bunuh diri. diperkirakan 1300 kasus bunuh diri berlangsung di jembatan ini.

Angka rata-ratanya adalah 1 kasus setiap dua minggu. Sedemikian banyaknya kasus bunuh diri – sampai-sampai pihak otoritas jembatan berhenti menghitung saat angka bunuh diri mencapai 1000 di tahun 1995. Sejak awal tahun 2005 saja, tercatat 20 kasus bunuh diri berlangsung di jembatan ini.

Sebagian dari kasus bunuh diri ini terekam di kamera yang dipasang di beberapa bagian jembatan saat seorang pembuat film dokumenter Eric Steel memasang kamera di tempat ini.

MOTIF MANUSIA  BUNUH DIRI

Penderitaan karena penyakit berkepanjangan, Himpitan ekonomi (kemiskinan), cobaan hidup dan tekanan lingkungan seringkali membuat manusia kehilangan kendali atas dirinya. Apabila keilmuan dan keimanan mereka tak sanggup menjawab masalah-masalah tersebut, akan timbul kekosongan dalam ruang jiwa. Mereka akan beranggapan bahwa hidup mereka tidak ada gunanya. Dan karenanya, hidup atau mati, bagi mereka tidak ada bedanya. Ketidakmampuan dalam memberikan makna  hidup inilah yang menjadi pemicu utama manusia untuk bunuh diri.

ERA DIGITAL

Lahirnya sistem digital membuat  teknologi   berkembang luar biasa pesat. Bidang komputer, elektronika, telekomunikasi hingga penerbangan luar angkasa menjadi semakin berkembang. Teknologi digital ini muncul setelah ditemukan bilangan biner, yaitu angka nol dan satu sebagai sistem transformasinya.

Secara sederhana logika biner merangkum dua hal pokok : Logika OR dan Logika AND. Angka nol (o) bisa diartikan sebagai NO atau OFF.  Sedangkan angka 1 berarti YES atau ON.

Input Ouput
A B Z
0 0 0
0 1 1
1 0 1
1 1 1

Logika ini akan bernilai 1 jika salah satu atau kedua nilai inputnya (A & B) bernilai 1.

Jika logika di atas dimanifestasikan ke dalam logika kesuksesan, maka logika OR :

Jalan Paradigma
A B Sukses
Gagal Gagal Gagal
Gagal Sukses Sukses
Sukses Gagal Sukses
Sukses Sukses Sukses

Dalam paradigma sukses, logika OR bisa disebut sebagai logika masih banyak jalan ke Roma. Ketika jalan kesuksesan tidak ditemukan di A, maka jalan sukses itu kemungkinan besar akan ditemukan di B. Bilapun tidak, masih ada C,D,E, dst. (Logika OR bisa dikembangkan untuk input yang tak terbatas, tak hanya A dan B).

Input Ouput
A B Z
0 0 0
0 1 0
1 0 0
1 1 1

Logika ini akan bernilai 1 hanya jika kedua nilai inputnya (A & B) bernilai 1.

Jika logika di atas dimanifestasikan ke dalam logika kesuksesan, maka logika AND :

Jalan Paradigma
A B Sukses
Gagal Gagal Gagal
Gagal Sukses Gagal
Sukses Gagal Gagal
Sukses Sukses Sukses

Dari tabel di atas terlihat bahwa Paradigma kesuksesan menurut logika AND terjadi jika kita tak pernah gagal (Sukses di A dan sukses di B).

Dari dua logika tersebut, terlihat bahwa logika OR lebih fleksible daripada logika AND. Logika OR juga memuat lebih banyak kemungkinan sukses. Karena itulah dalam troubleshooting kehidupan, sudah selayaknya logika OR dikedepankan daripada logika AND.

Kesuksesan dewasa ini bukan lagi didefinisikan sebagai  ‘berada di puncak  tujuan’, melainkan ‘proses perjalanan menuju puncak tujuan.’ Ibarat mendaki puncak gunung yang memakan waktu 5 jam, jika selama mendaki kita tak pernah merasakan kenikmatannya, maka hanya saat berada di puncak gunung itulah (max satu jam) kita merasakan kesuksesan pendakian. Lain halnya jika selama 5 jam pendakian  kita menikmati pemandangan alam, merasakan lika-liku perjalanan dan merasakan kekompakan tim, maka sepanjang pendakian itulah kesuksesan kita.

Managing Partner sebuah biro hukum di Amerika serikat dikenal sebagai orang yang sangat sukses dan kaya raya. Namun begitu, ketika usianya menginjak 50 tahun, ia merasa sesuatu telah menggerogoti hidupnya. Ia memandang dirinya tak lebih sebagai budak waktu, yang hanya bekerja untuk memenuhi tuntutan para mitra dan kliennya. Keberhasilan baginya adalah sebuah ‘penjara’.

Banyak orang sukses lain telah berhasil meraih sasaran yang telah mereka tetapkan sendiri di usia 30-40an. Namun begitu mereka memandang ke depan, mereka seolah kehilangan orientasi sasaran. Mereka seperti merasa kering, seperti merasa ada kepingan yang menghilang dari dirinya.

Banyak orang yang merasa sudah mencapai cita-cita dan mencapai puncak kesuksesan, baik materi maupun karier/jabatan, tetapi kemudian merasakan “HAMPA dan KOSONG”. Mereka lalu menyadari bahwa mereka telah menaiki tangga yang keliru, justru setelah mencapai puncak tangga tertingginya!

Pada akhirnya mereka baru sadar bahwa uang, harta, kehormatan, harga diri atau kedudukan, bukanlah sesuatu yang mereka cari selama ini.

Manusia-manusia sukses tersebut tentu saja merupakan orang yang sangat bermanfaat secara sosial dan ekonomi bagi perusahaannya. Namun begitu, mereka kehilangan makna spiritual bagi dirinya. Spiritual Illness atau spiritual patology ini sering menjangkiti manusia modern. Contohnya presdir Hyundai, yang memilih bunuh diri dengan meloncat dari gedung pencakar langit. David Kellerman, Direktur keuangan Fredie Mac, juga diduga bunuh diri setelah perusahaan pembiayaan perumahan terbesar di AS itu mengalami kebangkrutan.

ERA DIGITAL, ERA SPIRITUAL

John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000 mencatat bahwa banyak perusahaan multinasional dan perusahaan yang memproduksi merek-merek dunia telah mengeluarkan dana tidak kurang 4 Miliar dolar AS per-tahun untuk membayar para konsultan yang dikenal sebagai bagian kecenderungan spiritualitas baru, New Age. Sebanyak 67.000 pegawai Pasific Bell di California telah mengikuti pelatihan Krone, yakni sejenis pelatihan ala New Age ini.

Demikian pula halnya dengan perusahaan kelas dunia seperti Procter and Gamble, TRW, Ford Motor Company, AT&T, IBM, dan General Motors. Sejalan dengan itu, seperti diberitakan Asia Inc., January 1999, Mark Moody, pimpinan senior salah satu perusahaan minyak terbesar dunia Shell memutuskan untuk memanggil seorang pendeta Buddha terkemuka guna memberikan terapi spiritual kepada 550 ekskutif perusahaan tersebut. Dia menyatakan bahwa langkah ini diambilnya untuk meningkatkan kinerja karyawan perusahaan.

Dr. Gay Hendricks dan Dr. Kate Ludeman dalam buku The Corporate Mystic, secara lugas ingin menyatakan bahwa dalam era pasar global, Anda akan menemukan orang-orang suci, mistikus, atau sufi di perusahaan-perusahaan besar atau organisai-organisasi modern, bukan di wihara, kuil, gereja atau masjid. Dalam buku itu mereka menyatakan bahwa setelah bekerja dengan 800 orang eksekutif dalam 25 tahun terakhir ini, mereka mengajukan ramalan sebagai berikut: Para pengusaha yang sukses abad 21 akan menjadi para pemimpin spiritual.

Mereka akan merasa nyaman dengan kehidupan spiritualnya sendiri dan akan tahu cara memupuk perkembangan spiritual orang lain. Para pengusaha yang paling sukses pada zaman sekarang ini telah mempelajari rahasia ini. Bagi mereka yang telah beranggapan bahwa spiritual adalah bukan bagian dari sebuah bisnis, hanyalah menipu diri mereka sendiri begitu pula dengan orang-orang disekitarnya.

Menurut Hendricks dan Ludeman ada 12 ciri-ciri para Mistikus Korporat yaitu: Kejujuran Total, Fairness (Keadilan), Pengetahuan tetang diri sendiri, Fokus pada kontribusi, spiritualitas (Non-Dogmatik), Mencapai Lebih Banyak Hasil dengan Lebih Sedikit Upaya, Membangkitkan yang terbaik dalam diri mereka dan orang lain, keterbukaan terhadap perubahan, cita-rasa humor yang tinggi, visi jauh kedepan dan focus yang cermat, disiplin diri, yang ketat, dan keseimbangan.

MANUSIA DIGITAL

Cara terbaik membendung penyakit spiritual adalah dengan memperkuat fondasi  spiritual. Landasan keimanan berperan penting untuk mengurai sejauh mana peran manusia dalam kehidupan. Nilai-nilai spiritual yang berbasis agama harus dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku ESQ Power, Ary Ginanjar menjelaskan bahwa di era digital   manusia juga semestinya berpikir digital. Hal itu tercapai bila manusia bisa menjadi tulus dan ikhlas (0), karena berprinsip bahwa Tuhan (1), dan tidak menuhankan yang lainnya (0). Sebagaimana : Laa (0) ilaha illalloh (1).

Prinsip tulus dan ikhlas, sama halnya berpikir dan bertindak tanpa tendensi atau kepentingan (nol).  Jika hal ini tercapai, maka akan muncul potensi yang tak terhingga. Inilah yang disebut sebagai manusia digital, yang mampu memunculkan potensi tak terhingga dalam dirinya (tak mudah putus asa untuk mencoba hal-hal baru) dengan  tetap memegang nilai-nilai spiritualitasnya pada Tuhan Yang Esa.

Zaman dahulu tekanan/ masalah yang dialami umat manusia lebih didominasi oleh hal-hal yang bersifat eksternal, yang berasal dari luar manusia. Misalnya ancaman wabah penyakit, ancaman kelaparan, dan  perang berkepanjangan.

Di abad ke-21—dengan  adanya riset bidang kedokteran yang makin canggih, demokratisasi dan perdamaian yang semakin meluas, kesejahteraan yang semakin meningkat—ancaman terhadap masalah-masalah eksternal tersebut sudah bisa teratasi. Makin tumbuhnya kemerdekaan berpendapat, keleluasaan berpikir, ketercukupan materi, ditunjang kecanggihan teknologi, semestinya mampu membuat hidup manusia lebih tenang dan tenteram. Namun begitu, yang terjadi justru sebaliknya. Kegundahan, kegelisahan, kesedihan, rasa was-was dan cemas justru kerap bergejolak dalam diri manusia. Tekanan/masalah internal inilah yang memicu stress. Meningkatnya stress ternyata juga mendongkrak angka kematian akibat bunuh diri. Krisis ekonomi AS tahun 2007, secara signifikan memukul perekonomian Jepang yang sangat bergantung pada ekspor mobil, mesin, dan peralatan IT.  WHO melansir bahwa  tahun 2008 angka bunuh diri di Jepang  mencapai 30.000 jiwa, merupakan yang tertinggi di dunia. Sebagaimana diberitakan AFP  Sabtu (26/12/2009), berdasarkan data Kepolisian Nasional Jepang, antara bulan Januari hingga November 2009 total 30.181 jiwa melakukan tindak bunuh diri di negeri sakura itu.

GOLDEN GATES

Di amerika serikat, Golden Gates yang selesai dibangun 1937 merupakan tempat favorit untuk bunuh diri. diperkirakan 1300 kasus bunuh diri berlangsung di jembatan ini. Angka rata-ratanya adalah 1 kasus setiap dua minggu. Sedemikian banyaknya kasus bunuh diri – sampai-sampai pihak otoritas jembatan berhenti menghitung saat angka bunuh diri mencapai 1000 di tahun 1995. Sejak awal tahun 2005 saja, tercatat 20 kasus bunuh diri berlangsung di jembatan ini. Sebagian dari kasus bunuh diri ini terekam di kamera yang dipasang di beberapa bagian jembatan saat seorang pembuat film dokumenter Eric Steel memasang kamera di tempat ini.

MOTIF BUNUH DIRI

Penderitaan karena penyakit berkepanjangan, Himpitan ekonomi (kemiskinan), cobaan hidup dan tekanan lingkungan seringkali membuat manusia kehilangan kendali atas dirinya. Apabila keilmuan dan keimanan mereka tak sanggup menjawab masalah-masalah tersebut, akan timbul kekosongan dalam ruang jiwa. Mereka akan beranggapan bahwa hidup mereka tidak ada gunanya. Dan karenanya, hidup atau mati, bagi mereka tidak ada bedanya. Ketidakmampuan dalam memberikan makna  hidup inilah yang menjadi pemicu utama manusia untuk bunuh diri.

ERA DIGITAL

Lahirnya sistem digital membuat  teknologi   berkembang luar biasa pesat. Bidang komputer, elektronika, telekomunikasi hingga penerbangan luar angkasa menjadi semakin berkembang. Teknologi digital ini muncul setelah ditemukan bilangan biner, yaitu angka nol dan satu sebagai sistem transformasinya.

Secara sederhana logika biner merangkum dua hal pokok : Logika OR dan Logika AND. Angka nol (o) bisa diartikan sebagai NO atau OFF.  Sedangkan angka 1 berarti YES atau ON.

Input

Ouput

A

B

Z

0

0

0

0

1

1

1

0

1

1

1

1

Logika ini akan bernilai 1 jika salah satu atau kedua nilai inputnya (A & B) bernilai 1.

Jika logika di atas dimanifestasikan ke dalam logika kesuksesan, maka logika OR :

Jalan

Paradigma

A

B

Sukses

Gagal

Gagal

Gagal

Gagal

Sukses

Sukses

Sukses

Gagal

Sukses

Sukses

Sukses

Sukses

Dalam paradigma sukses, logika OR bisa disebut sebagai logika masih banyak jalan ke Roma. Ketika jalan kesuksesan tidak ditemukan di A, maka jalan sukses itu kemungkinan besar akan ditemukan di B. Bilapun tidak, masih ada C,D,E, dst. (Logika OR bisa dikembangkan untuk input yang tak terbatas, tak hanya A dan B).

Input

Ouput

A

B

Z

0

0

0

0

1

0

1

0

0

1

1

1

Logika ini akan bernilai 1 hanya jika kedua nilai inputnya (A & B) bernilai 1.

Jika logika di atas dimanifestasikan ke dalam logika kesuksesan, maka logika AND :

Jalan

Paradigma

A

B

Sukses

Gagal

Gagal

Gagal

Gagal

Sukses

Gagal

Sukses

Gagal

Gagal

Sukses

Sukses

Sukses

Dari tabel di atas terlihat bahwa Paradigma kesuksesan menurut logika AND terjadi jika kita tak pernah gagal (Sukses di A dan sukses di B).

Dari dua logika tersebut, terlihat bahwa logika OR lebih fleksible daripada logika AND. Logika OR juga memuat lebih banyak kemungkinan sukses. Karena itulah dalam troubleshooting kehidupan, sudah selayaknya logika OR dikedepankan daripada logika AND.

Kesuksesan dewasa ini bukan lagi didefinisikan sebagai  ‘berada di puncak  tujuan’, melainkan ‘proses perjalanan menuju puncak tujuan.’ Ibarat mendaki puncak gunung yang memakan waktu 5 jam, jika selama mendaki kita tak pernah merasakan kenikmatannya, maka hanya saat berada di puncak gunung itulah (max satu jam) kita merasakan kesuksesan pendakian. Lain halnya jika selama 5 jam pendakian  kita menikmati pemandangan alam, merasakan lika-liku perjalanan dan merasakan kekompakan tim, maka sepanjang pendakian itulah kesuksesan kita.

Managing Partner sebuah biro hukum di Amerika serikat dikenal sebagai orang yang sangat sukses dan kaya raya. Namun begitu, ketika usianya menginjak 50 tahun, ia merasa sesuatu telah menggerogoti hidupnya. Ia memandang dirinya tak lebih sebagai budak waktu, yang hanya bekerja untuk memenuhi tuntutan para mitra dan kliennya. Keberhasilan baginya adalah sebuah ‘penjara’.

Banyak orang sukses lain telah berhasil meraih sasaran yang telah mereka tetapkan sendiri di usia 30-40an. Namun begitu mereka memandang ke depan, mereka seolah kehilangan orientasi sasaran. Mereka seperti merasa kering, seperti merasa ada kepingan yang menghilang dari dirinya.

Banyak orang yang merasa sudah mencapai cita-cita dan mencapai puncak kesuksesan, baik materi maupun karier/jabatan, tetapi kemudian merasakan “HAMPA dan KOSONG”. Mereka lalu menyadari bahwa mereka telah menaiki tangga yang keliru, justru setelah mencapai puncak tangga tertingginya!

Pada akhirnya mereka baru sadar bahwa uang, harta, kehormatan, harga diri atau kedudukan, bukanlah sesuatu yang mereka cari selama ini.

Manusia-manusia sukses tersebut tentu saja merupakan orang yang sangat bermanfaat secara sosial dan ekonomi bagi perusahaannya. Namun begitu, mereka kehilangan makna spiritual bagi dirinya. Spiritual Illness atau spiritual patology ini sering menjangkiti manusia modern. Contohnya presdir Hyundai, yang memilih bunuh diri dengan meloncat dari gedung pencakar langit. David Kellerman, Direktur keuangan Fredie Mac, juga diduga bunuh diri setelah perusahaan pembiayaan perumahan terbesar di AS itu mengalami kebangkrutan.

MANUSIA DIGITAL

Cara terbaik membendung penyakit spiritual adalah dengan memperkuat fondasi  spiritual. Landasan keimanan berperan penting untuk mengurai sejauh mana peran manusia dalam kehidupan. Nilai-nilai spiritual yang berbasis agama harus dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku ESQ Power, Ary Ginanjar menjelaskan bahwa di era digital   manusia juga semestinya berpikir digital. Hal itu tercapai bila manusia bisa menjadi tulus dan ikhlas (0), karena berprinsip bahwa Tuhan (1), dan tidak menuhankan yang lainnya (0). Sebagaimana : Laa (0) ilaha illalloh (1).

Prinsip tulus dan ikhlas, sama halnya berpikir dan bertindak tanpa tendensi atau kepentingan (nol).  Jika hal ini tercapai, maka akan muncul potensi yang tak terhingga. Inilah yang disebut sebagai manusia digital, yang mampu memunculkan potensi tak terhingga dalam dirinya (tak mudah putus asa untuk mencoba hal-hal baru) dengan  tetap memegang nilai-nilai spiritualitasnya pada Tuhan Yang Esa.

IQ, EQ dan SQ :

Dari Kecerdasan Tunggal Menuju Kecerdasan Majemuk

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.

Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.

Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan.

Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.

Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu :

(1) kemampuan untuk belajar;

(2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan

(3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.

Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005).

Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.

Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.

Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).

Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.

Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.

Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).

Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)

Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai :

(1) nilai kreatif;

(2) nilai pengalaman dan

(3) nilai sikap.

Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).

Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.

Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang :

(1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu;

(2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman;

(3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam;

(4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan

(5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).

Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja.

Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) – (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .

Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).

Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?

Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!

Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).

Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.

Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa :

“BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS !”

Baca juga Artikel terkait :

Multiple Intellegence

IQ, EQ dan SQ : dari Kecerdasan Tunggal Menuju Kecerdasan Majemuk

Teori Quantum Dalam Berbagai Ranah

Kecerdasan Dialektis

Kecerdasan Dialektis


Tak dapat dipungkiri, kita hidup untuk melangsungkan peribadatan. Dalam konteks global, ibadah termanifestasikan dalam segala gerak kemanusiaan yang diarahkan untuk mencapai derajat kebahagiaan yang tertinggi. Dalam hal ini, relasi transendential – antara Makhluk dan Khaliknya, tidak harus merupakan bagian paling dominan, tetapi justru saling menyeimbangkan dengan ibadah sosial yang kita lakukan, berupa relasi horizontal yang melibatkan interaksi antar makhluk-Nya. Pun tidak berlebih menganggap bahwa, dengan alasan tertentu, justru ibadah sosial mesti ditempatkan dalam proporsi dominan, jauh melampaui kesalehan-kesalehan individual yang ritualistik. Berbeda dengan ibadah vertikal yang, sebenarnya masuk dalam wilayah pertanggungjawaban nafsiah (individual).
Ibadah sosial – horizontal, yang berujung pada bentuk-bentuk kesalehan sosial, kerap mengasyikkan untuk dibahas. Selain karena relatif mendesakralisasi entitas “tuhan” yang kadang jadi penghalang “kenakalan” manusiawi, secara sederhana juga dapat dikonsumsi oleh banyak pihak tanpa harus khawatir akan ancaman dikotomi surga-neraka.

Kemashlahatan ummat manusia, yang diprasyaratkan oleh hadirnya kesalehan-kesalehan sosial, lebih digambarkan sebagai kondisi di mana semua entitas mendapat “posisi” yang proporsional, tanpa diskriminatif. Kemashlahatan kemudian hanya dapat terwujud jika ada ikhtiar untuk mewujudkannya. Gerak mencapai tujuan dan menggapai cita-cita, akan banyak dipengaruhi oleh sejauh mana metodologi dan kemampuan teknis yang kita miliki. Kemampuan, yang oleh banyak pakar diistilahkan sebagai “kecerdasan hidup”.

Dalam posisinya, manusia memiliki sejumlah potensi insani yang sebenarnya dapat diaktualkan dalam realitas. Kemampuan untuk mengetahui banyak hal secara ilmiah, disebut kecerdasan intelektual. Sedangkan kapabilitas untuk mengembangkan interaksi sosial secara positif dan mendukung potensi insani lainnya, disebut kecerdasan emosional. Ada lagi jenis kecerdasan yang banyak berpengaruh atas prestasi spiritual seseorang, yaitu kecerdasan spiritual.
Perkawinan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual dalam berbagai hal, akan melahirkan “idealisme” dalam diri. Sebuah world view hanya akan lahir jika perspektif spiritualitas dapat menembus spektrum ketuhanan (idealitas), dan dikuatkan secara rasional oleh kemampuan intelektualitas. Idealisme, dalam berbagai pengertian, merupakan refleksi kesempurnaan yang lahir sebagai hasil pergulatan intelektualitas-rasionalitas dengan potensi fitrawi manusia.

Idealisme (seharusnya) menjadi spirit dasar bagi manusia untuk berikhtiar menuju kesempurnaan. Dalam konteks ini, permasalahan yang kemudian muncul adalah, idealisme kadang harus dipaksakan untuk sedikit lebih realistis dalam memandang dunia (world). Yang kemudian muncul – pada bagian akhir, adalah proses dialektika antara keduanya. Pertanyaan yang hadir kemudian, apakah dialektika dapat dianggap sebagai bagian ibadah ? Apakah benar, proses hidup merupakan keseluruhan dialektika ?

Dialektika Kehidupan

Paradigma hitam-putih (black and white) dalam kenyataannya, menyisakan ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi bilateral. Adanya baik dan buruk, senang dan sedih, kaya dan miskin, memberi peluang besar bagi terwujudnya dinamisasi. Seperti roda pedati, hidup ini berputar dalam siklus tersendiri berdasarkan hukum tertentu. Dalam takaran spiritualitas – seperti antara lain diajarkan dalam tradisi Yin dan Yang, fluktuatifnya keimanan manusia, semakin menunjukkan bahwa keseluruhan proses hidup merupakan dinamika tersendiri. Penyederhanaan dari semua proses ini adalah dengan menyebutnya sebagai dialektika.

Proses dialektika sarat dengan kemungkinan-kemungkinan. Kalah dan menang menjadi hal biasa. Dari kesadaran dialektis inilah, mulai bermunculan upaya penyeimbangan baru, khususnya untuk meminimalkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak menguntungkan dalam proses dialektika, dengan mempopulerkan budaya win-win solution (solusi menang-menang). Tak dapat dinafikkan, win-win solution juga merupakan bagian dari dinamika. Hanya saja, ini menduduki level yang lebih tinggi dibanding konsep win-lose solution. Singkatnya, berdialektika adalah bermain dengan kemungkinan-kemungkinan !

Layaknya proses yang di dalamnya ada ikhtiar secara sadar, dialektika pun mensyaratkan adanya kemampuan-kemapuan dasar untuk dapat memenangkan keseluruhannya. Kemampuan, yang dalam bahasa sederhananya, diistilahkan sebagai kecerdasan – sebagaimana yang dijelaskan di muka. Untuk memudahkan berlangsung dan tercapainya harapan dalam sebuah dialektika, kita mutlak membutuhkan kemampuan dasar berupa Kecerdasan dialektis.

Kecerdasan Dialektis; Persinggungan Idealisme dengan Realitas

Tak jarang ketika diperhadapkan dengan realitas, kita tidak dapat berbuat banyak. Pergulatan batin untuk memutuskan apakah suatu perbuatan adalah baik atau buruk, ideal atau kapital, dan berbagai pertentangan bipolar lainnya, menjadi hambatan negatif berkembangnya kreatifitas. Kita menjadi gamang – antara memilih yang ini atau yang itu. Kita terjebak dalam keragu-raguan yang mungkin pelik untuk reda. Padahal, kenyataan berjalan dengan alurnya sendiri, tak pernah mau mengerti kegamangan yang melanda kita. Pada akhirnya, ketidakmampuan untuk melakukan proses dialektika – antara idealisme dalam jiwa dengan realitas di depan mata, membawa kita pada kegagalan, setidaknya kegagalan untuk memilih.

Kecerdasan dialektis hanya dapat terbangun jika kita sadar bahwa setiap insan memiliki kemerdekaan yang sama untuk berikhtiar. Sebagai bagian ibadah, berikhtiar merupakan proses pencapaian tujuan hidup – menuju kesempurnaan hakiki. Jadi, secara sederhana, dialektika adalah upaya-upaya realistis yang dapat dilakukan manusia untuk mencapai limit tertentu, menuju kesempurnaan. Bukankah proses hidup yang kita lakukan tidak mesti harus sempurna, tetapi sedikitnya bisa mendekati kesempurnaan?

Memunculkan kecerdasan dialektis, menuntut kesediaan untuk menunjukkan kebesaran jiwa dan kemampuan untuk mempersinggungkan idealisme sanubari dengan pendekatan-pendekatan realistis di alam nyata. Pada level ini, kecerdasan dialektis sebenarnya dapat menjadi dinamisator kehidupan manusia, menjembatani kebuntuan dan ketidakbertemuan antara titik ideal dengan kenyataan yang terjadi. Rendahnya kecerdasan dialektis sebenarnya menjadi jawaban, mengapa banyak orang mengalami stress dan tekanan psikis berlebih dalam hidupnya.

Kecerdasan dialektis mensyaratkan selain kecerdasan intelektual-spiritual, juga kecerdasan emosional. Daniel Golemann, dalam konsep kecerdasan emosionalnya, menitikberatkan pemanfaatan kecerdasan emosional pada wilayah interaksi sosial (antar pribadi). Kematangan individu, khususnya untuk dapat menghadapi kenyataan secara dewasa, banyak dipengaruhi oleh tipe kecerdasan ini. Sementara kecerdasan intelektual dan spiritual, dalam kajian Dana Zohar dan Ian Marshall, lebih banyak bermain dalam wilayah-wilayah individual (intra pribadi). Sementara kecerdasan dialektis, muncul sebagai evolusi tertinggi hasil interaksi dinamis antara tiga jenis kecerdasan primer manusia tersebut (intelektual-spiritual dan emosional). Munculnya tipe-tipe kecerdasan baru, hanya merupakan turunan sekunder dari tiga kecerdasan dominan sebelumnya. Dinamika yang terbangun dari ketiga kecerdasan dominan tadi, jika diperkaya dengan penguasaan kecerdasan turunan sekunder lainnya, dapat mengantarkan kita pada titik pencapaian kecerdasan dialektis.

Sebagaimana entitas lain, kecerdasan dialektis juga berfluktuatif sejalan dengan tingkat kedewasaan perspektif dan keberterimaan realitas yang kita miliki. Kecerdasan dialektis, pada satu titik merupakan puncak kearifan manusiawi dalam memandang harmonisasi hidup ; keseimbangan antara kebutuhan materiil dan imateriil, antara kepentingan dunia dan akhirat. Manusia yang memiliki kecerdasan dialektis tertinggi adalah insan kamil; insan yang realistis dalam kedinamisan yang melingkupinya.

Bukan hal yang sukar membangun kecerdasan dialektis. Yang penting kita bisa memahami secara benar, seperti bagaimana potensi fitrawi yang melekat dalam diri kita. Setiap manusia dianugerahi kemerdekaan untuk berbuat, tentunya dalam batas-batas kemampuan insaniah yang dimilikinya, termasuk untuk melakukan “penyesuaian-penyesuaian” agar dapat mencapai tujuan hidup. Tetapi di luar semua itu, hukum alam (sunnatullah) juga tak bisa dinafikkan adanya. Persinggungan antara kemerdekaan manusia dengan keharusan hukum alam, merupakan proses dialektika dalam skala kosmik, yang melahirkan kesadaran kontekstual – kesadaran untuk menganggap bahwa kita sedang bermain dengan batasan-batasan melalui permainan tak terbatas dalam konteks yang berbatas. Dengan demikian, sebenarnya kesadaran kontekstual hanya dapat lahir jika kita memiliki kecerdasan dialektis yang matang.

Jika kecerdasan dialektis berkembang baik, maka kemampuan kita menghadapi dan mengelola kenyataan akan baik pula, termasuk untuk membumikan makna hubungan transendental kita kepada Rabb dan substansi dasar relasi horizontal kita dengan makhluk-Nya yang lain. Kesederhanaan hidup, dalam nuansa yang harmonis, menjadi tidak sukar diwujudkan, asalkan kemampuan dialektika kita semakin matang. Sehingga, pada akhirnya, kesempurnaan hidup – diterminologikan sebagai “insan kamil”, hanya bisa terwujud jika kita membangun kecerdasan dialektis secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga Artikel terkait :

Multiple Intellegence

IQ, EQ dan SQ : dari Kecerdasan Tunggal Menuju Kecerdasan Majemuk

Teori Quantum Dalam Berbagai Ranah

Kecerdasan Dialektis